22 TAHUN PERJALANAN POLITIK GAGASAN PKS
Perhelatan politik di tengah wabah Corona (COVID-19), dilakukan secara penuh dan berani, seperti Rabu (22/4). Presiden PKS, Mohammad Sohibul Iman, melaungkan orasi kebangsaan dan kesejahteraan, dalam kerangka milad Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke-22 tahun.
Sementara Ketua Majelis Syura PKS, Habib Salim Segaf al-Jufri, menyampaikan pesan-pean moral dan spiritual.
Semuanya dipancarkan melalui streaming televisi dan berbagai kanal media sosial.
Sebelumnya, Senin (20/4), segenap anggota PKS di Indonesia dan mancanegara, melakukan kajian menyambut bulan suci Ramadhan 1441 Hijriah.
Pengajian daring itu, diikuti langsung oleh kontribusi 63.000 akun Facebook, 96.000 pemirsa YouTube, dan 7.000 pengikut Instagram.
PKS, telah memulai era baru dalam aktivisme politik bernuansa kebahagiaan, dan sepenuhnya berjaringan berani.
Lahir dan Bertahan karena Dukungan
Hal itu menunjukkan PKS, lahir dan bertahan hidup karena mendukung aspirasi seluruh anggota. PKS terbukti bukan warisan keluarga pun dinasti atau bentukan oligarki.
Sejak Munas 2015, PKS telah melakukan keberhasilan yang penting kompilasi Ketua Majelis Syura KH Hilmi Aminuddin, digantikan oleh Habib Salim Segaf al-Jufri.
Ustadz Hilmi adalah tokoh pergerakan yang mengalami tekanan berat di masa Orde Baru, sedangkan Habib Salim, tokoh intelektual yang merupakan cucu dari organisasi besar al-Khairaat (Sayid Idrus bin Salim al-Jufri)
Kedua tokoh itu melengkapi Dua karakter berbeda dan saling melengkapi. Karakter Ustadz Hilmi adalah motivator dan perancang strategi untuk menggerakkan perubahan di segenap aspek organisasi.
Sementara Habib Salim dikenal sebagai pembimbing moral-spiritual yang akrab dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk akar rumput.
Apabla ditelusuri lebih jauh, profil kepemimpinan eksekutif (Presiden PKS) sejak era Partai Keadilan (1998) hingga sekarang, lebih berdimensi nasionalis, telah mewakili karakter masyarakat Indonesia. Mulai dari:
• Nur Mahmudi Ismail (PK 1998-1999, asal Jawa Timur),
• Hidayat Nur Wahid (PK 1999-2003, asal Jawa Tengah),
• Muzammil Yusuf (masa transisi PKS 2002-2003, asal Lampung),
• Hidayat Nur Wahid ( PKS 2003-2004),
• Tifatul Sembiring (PKS 2004-2009, asal Sumatera Barat),
• Lutfi Hassan Ishaq (PKS 2009-2013, asal Nusa Tenggara Barat),
• Anis Matta (2013-2015, asal Sulawesi Selatan), dan
• Mohamad Sohibul Iman (2015-2020, asal Jawa Barat).
Latar belakang sosial-budaya dan pendidikan pemimpin, akan mempengaruhi organisasi budaya, di samping aturan yang dilembagakan.
PKS lebih mencerminkan wajah organisasi Indonesiawi modern, dibandingkan partai-partai lain yang terlihat kuat dari Jawa-sentris, semisal:
PDIP (di bawah kepemimpinan Megawati),
Gerindra (Prabowo Subianto), atau
Demokrat (Susilo Bambang Yudhoyono).
Pandemi COVID-19 merupakan momentum nasional sekaligus momentum untuk menggalang solidaritas kesejahteraan.
Itu tema yang diperjuangkan PK sejak awal reformasi 1998, gerakan sosial untuk gerakan pragmatisme politik yang sudah mendarah daging.
Sebenarnya fenomena gerakan sosial telah berlangsung lama dalam sejarah Indonesia, dengan inisiasi Jamiat Kheir yang berdiri pada awal abad 20, kemudian memulai organisasi dakwah, semisal:
Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), dan lain-lain.
Dalam manifestasi kontemporer, proyek kesalehan ditampilkan pada gerakan Islam dengan dunia pendidikan di kelas menengah.
Karen Bryner (2013) melakukan penelitian etnografik selama 15 bulan di sekolah Islam di Yogyakarta, dan menemukan sekolah dapat menjadi sarana yang efektif untuk menciptakan hubungan sosial-keagamaan dan politik di masyarakat dan ranah negara.
Orasi Sohibul Iman yang kritis, mirip dengan pidato Susilo Bambang Yudhoyono yang tajam, tapi jelas berbeda dengan arahan Prabowo Subianto.
PKS yang independen mengkompilasi mengkritik kebijakan pemerintah, dan berorientasi pada advokasi kepentingan publik.
Dalam pandangan PKS, kemampuan pemerintah menanggulangi kesulitan akibat pandemi COVID-19, akan menentukan, ‘Apakah Indonesia akan keluar sebagai pemenang bangsa, pecundang, atau bangsa medioker yang hanya bisa jalan di tempat dan tidak dapat membuat perubahan dan mendukung?’.
Sohibul Iman yang pernah menyetujui Wakil Ketua DPR RI itu, melihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020, membahas untuk menggiring Indonesia pada kesempatan otoriterianisme baru.
Refleksi Dua Dekade
Perjalanan 22 tahun bukan waktu yang pendek, tetapi bukan masa yang cukup pula untuk disetujui konsistensi partai politik.
Partai yang Lebih suka lebih tua dari PKS, saat ini antara lain:
• PDIP,
• Golkar, dan
• PPP.
• Partai lain, termasuk PAN, PKB, Gerindra, Demokrat, atau NasDem, seangkatan atau lebih muda dari PKS.
Amat menarik untuk membandingkan kinerja partai dengan dimensi keamanan, kepemimpinan, dan dukungan serta relasi publik-konstituen.
Ioana Emy Matesan, Associate Professor dari Departemen Ilmu Pemerintahan, Universitas Wesleyan, Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian tentang PKS, sebagai partai politik dan gerakan dakwah.
Penelitian Matesan sebelumnya, terkait proses normalisasi gerakan Islam di Mesir dan Indonesia, sesuai dengan perpindahan politik nasional dan global.
Saat berbicara tentang diferensiasi PKS dengan partai lain, Matesan memaparkan:
“Saya pikir PKS sama saja dengan partai lain di dalam lingkungan politik Indonesia. Ternyata ia punya nilai sendiri, tetapi juga strategi strategis dalam meraih target politik, ”tuturnya.
“Dasar kader dan konstituen PKS, kuat mendukung pada nilai dan visi keagamaannya. Namun, seperti halnya partai lain, kepemimpinan politiknya mengendalikan pragmatik (pragmatisme berprinsip), ”sambung Matesan.
Sebuah istilah menarik yang ditawarkan olehnya, pragmatisme berdasar pada prinsip moral, untuk pemahaman tentang dinamika gerakan yang meruntuhkan dunia politik.
Hal ini dapat menjadi titik balik yang penting, agar partai Islam mampu mendukung basis dukungan.
Lebih jauh Matesan menjelaskan, “Secara aktual saya melihat ada dua model yang perlu dicermati: partai khusus (partai khas / terbatas) dan partai biasa (partai arus utama) seperti Kristen Demokrat di Eropa,” jelasnya.
“Saya bisa mengatakan, bahwa PKS, melampaui ini cukup sukses sebagai partai khas, mengundang sebagian besar konstituen sepanjang pemilihan umum untuk religius yang lebih konservatif, yang juga membentuk basis kadernya,” lanjut Matesan.
“Partai khusus mendukung dengan cara tetap pada isu khusus di-wakilinya, terutama jika masalah ini nyata dan penting bagi segmen masyarakat tertentu, dan jika partai lain tidak menyuarakan isu tersebut,” sambungnya.
Repotnya, di Indonesia, partai nasionalis atau sekuler, juga terkait retorika keagamaan pada waktu tertentu, yang memberikan tekanan pada partai khusus berdasarkan agama.
Maka alternatif lain bagi partai Islam adalah upaya mentransformasi diri menuju partai pada umumnya, dengan mengundang para pemilih umum.
Maka itu, PKS harus melakukan ajakan atau meminta kepada pemilih, dan sekaligus menentukan dari pihak lain pada umumnya yang juga memilih pemilih umum.
Matesan tak pasti, apakah itu bisa dilakukan, dan tetap bergerak kultural yang diperlukan sebagai pendukung utama, tulang punggung partai.
Momentum refleksi Milad ke-22 PKS di tengah pandemi COVID-19, dibuka untuk membahas kembali gerakan sosial dan gerakan politik di Indonesia.
Selama ini, ada kesan gerakan dakwah dan sosial terpisah dari gerakan politik, juga terletak pada posisi yang berseberangan.
Keterlibatan, diskusi umat Islam, tantangan internal, juga terkendala.
Wacana kesuksesan dakwah juga relevan, karena saat ini sedang dikembangkan ‘Masyumi Reborn’ dari sebagian besar tokoh yang kecewa dengan politik Islam.
PKS harus siap membangun dialog dengan semua kelompok.
Patut dirujuk dari salah seorang tokoh Pendiri PK (1998) yang baru saja wafat (5/4/2020), dalam usia 58 tahun, Dr KH Ahzami Samiun Jazuli.
Kiai Ahzami adalah Pimpinan Pondok Pesantren Darul Hikmah, Bekasi yang terlibat aktif dalam gerakan politik, pernah diundang Wakil Ketua Dewan Syariah Pusat PKS (Ketua Dewan DSP dijabat Habib Salim Segaf al-Jufri).
Salah satu pesan penting kiai-doktor ahli tafsir al-Qur’an itu adalah:
Kita berjemaah (perjuangan dalam suatu organisasi) ini harus memiliki napas panjang, yaa ibadallah, karena jemaah umur atau umur dakwah (perjuangan) lebih panjang dari umur kita.
Kita berjuang tidak berjuang seumur hidup kita, dan perjuangan harus madal hayat (sepanjang masa). Oleh karena itu, agar nafas kita panjang dalam berjemaah, mari kita berlomba-lomba untuk menghasilkan husnul khatimah.
Maka kita harus berlomba-lomba untuk memperbaiki kematian kita, melalui jemaah yang telah mendidik kita menjadi orang-orang yang punya militansi dalam perjuangan.
Hal itu tidak akan terjadi, jika kita tidak benar-benar bertaqwa kepada Allah. Begitu banyak isitlah taqwa dalam Al-Qur’an, tetapi kompilasi berbicara tentang taqwa dalam pembicaraannya dengan husnul khatimah, maka ditegaskan:
‘Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa (haqqa tuqatihi) dan janganlah kalian mati, keluarkan dalam keadaan Islam (berserah diri kepada Allah) …’. ”
Perjalanan dakwah sangat panjang, sementara perjuangan politik hanya salah satu aspek dari dakwah yang berdimensi luas.
Jangan sampai kita terjebak pada target politik jangka pendek, pertaruhkan pertarungan diperebutkan suara rakyat dalam Pemilu dan perjuangkan kursi kekuasaan.
Padahal, banyak orang kompilasi telah memenangkan Pemilu dan memenangkan kursi, juga menantang, bagaimana menjalankan dan mengarahkan kekuasaan itu?
Akhirnya, mereka hanya menangkap ilusi dan fatamorgana, mempertahankan kekuasaan untuk semakin berkuasa, seolah-olah akan hidup selamanya atau kekuasaan dapat diwariskan kepada anak-cucunya.
Politik dakwah harus disetujui menjadi kebijakan politik, bukan persetujuan pencalonan.
Benar-benar menjadi ‘Negara Utama’, bukan ‘Orang-orang Bodoh’ atau ‘Negara Sesat’ (al-Farabi, 950).
Politik, Bukan memberikan caci-maki atau keluh-kesah, tetapi menawarkan alternatif pandangan dan jalan keluar.
Pandangan khas dari Kiai Ahzami yang menjadi guru bagi para politisi PKS, bisa dipahami.
Ayahnya adalah seorang kiai NU yang sangat memuji dan menghargai keilmuannya, KH Samiun Jazuli, aktif dalam Bahtsul Masail NU bersama:
• Mbah Sahal (KH MA Sahal Mahfudh) dari Kajen,
• KH Sholeh Al-Hafidh,
• KH Duri Nawawi,
• KH Ahmad Fayumi Munji,
• KH Muzammil Thohir,
• KH Ma’mun Muzayyin,
• KH Abdullah Rifa’i,
• KH Abdul Hadi Kurdi,
• KH Zuhdi Abdul Manan, dan sejumlah kyai lainnya.
Forum Bahtsul Masail, sangat disukai, sebagian besar hadir kiai besar di wilayah Pati, yaitu KH Abdullah Zain Salam (Mbah Dullah Salam) serta KH A Suyuthi Abdul Qadir dari Guyangan.
Mbah Sami’un (ayah Ahzami) mengirimkan pengajaran untuk Guyangan, dari madrasah ibtidaiyah hingga menyelesaikan madrasah ‘aliyah.
Selepas dari Pesantren Guyangan, Ahzami melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah. Pendidikan S1 hingga S3 diselesaikan di Universitas Muhammad ibnu Saud di Riyadh, Arab Saudi jurusan Ulumul Quran.
Tesis S2-nya berjudul “Al Hijrah fil Quran” dan Disertasi S3 bertajuk “Al Hayah fil Quran”.
Selain mengajar di beberapa perguruan tinggi, Doktor Ahzami juga menjadi pengasuh siaran Tafsir Kehidupan di stasiun televisi (TVRi dan TV One).
PKS telah kehilangan jumlah tokoh senior. Namun, generasi baru lahir untuk melanjutkan estafet perjuangan.
Setelah langkah pertama sudah digerakkan, maka perjalanan seribul mil tidak akan berhenti hanya karena ada jurang terjal atau bukit emas di tengah jalan.
Dimuat di ngelmu.co

